![]() |
Foto: A Makmur Makka (kanan) dan Kepala Perpusnas RI, Prof E Aminuddin Azis. (Dok. Tebarnews.com/Handover) |
Oleh Makmur Makka (Sastrawan, Tokoh Pers, Dewan Pembina Dompet Dhufa)
Ada anekdot sekaligus satire yang menarik dari platform digital: Di sebuah kios buku, seorang penjual buku berkemas menutup kiosnya. Hari sudah sore. Karena kios penjual buku itu terbatas, ia tidak memasukkan semuanya ke dalam ruangan. Beberapa rak buku dibiarkan di luar kios.
Ketika seorang pengunjung bertanya, kenapa rak buku itu tidak dimasukkan, apa tidak takut kalau buku itu dicuri?
Penjual menjawab dengan enteng sambil tersenyum. “Jika buku saya ada yang curi, artinya rakyat Indonesia sudah pintar-pintar“.
Moral dari anekdot ini; dengan memiliki buku gratis pun, tidak ada yang berminat, apalagi jika membeli.
Ada pengalaman pribadi atau empiris penulis terkait gerakan literasi. Namun, dulu belum disebut “literasi”. Pengalaman pribadi itu, bagi saya, luar biasa, karena menjadi penuntun karier saya di masa depan. Aktif dalam dunia literasi merupakan panggilan jiwa, tidak bisa dipaksakan.
Hampir satu dekade terakhir, peradaban cetak mulai tergantikan oleh eravdigital. Surat kabar dan majalah yang telah menguasai pasar berabad lalu, mulai tumbang satu persatu.
Penerbit sudah enggan menerbitkan buku secara massal. Mereka hanya menerbitkan buku yang memberi jaminan akan terserap oleh pasar. Toko buku mulai berpikir untuk menambah konter ataukah memperluas ruangan.
Hanya saja, antara peradaban cetak dan peradaban digital, jangan dipertentangkan, tetapi perlu disinergikan.
Menyikapi kondisi ini, apa yang harus dilakukan oleh Gerakan Literasi?
Pertama, ubah kebiasaan, tidak hanya meningkatkan minat baca tetapi jadikan gerakan literasi untuk meningkatkan tradisi intelektual. Yakni, dengan membuka cakrawala pengetahuan lebih luas pada anggotanya.
Kedua, mendorong budaya membaca, dengan cara mengekspresikan pemikiran dalam bentuk karya tulis esai, artikel, cerita pendek, atau puisi.
Ketiga, lakukan kebiasaan membuat resensi buku tertentu (mungkin buku yang dimiliki Taman Baca maupun yang ada di perpusatkaan daerah).
Keempat, untuk menarik pengunjung/anggota agar tidak bosan, buatlah diskusi membicarakan buku dalam cara story telling.
Kelima, kerjasama dan kolaborasi. Undang figur lokal untuk berbicara mengenai bidang pekerjaannya (Kepala DInas Kebudayaan, Kepala Dinas Pendidikan, wartawan nasional atau lokal). Pilih tema-tema menarik yang lagi populer. Tidak harus tema politik, tetapi juga peristiwa budaya lokal dan nasional yang ramai diperbincangkan, pelestarian budaya tradisi setempat, cerita adat, sejarah perjuangan tokoh masyarakat lokal (jika ada).
Bisa juga terkait dengan kegiatan ekonomi rumah tangga dengan menggunakan sumberdaya alam lokal jadi produk ekonomi kreatif.
Untuk Dompet Dhuafa sebagai Pembina Gerakan Literasi
Rumah Baca binaan perlu dipantau secara rutin untuk mengetahui apakah bentuk pembinaan memberi dampak yang signifikan, stagnan ataukan mundur.
Evaluasi perkembangan Rumah Baca Binaan. Lakukan pengamatan intensif dengan beberapa penilaian sebagai berikut:
Aspek Kuantitatif
1. Tentukan target untuk mengukur kemajuan gerakan literasi binaan secara intensif dan teratur. Tidak harus melakukan kunjungan apabila jarak binaan jauh. Bisa dilakukan dengan bentuk laporan singkat dan sederhana.
2. Minta catatan jumlah buku yang didistribusikan kepada Rumah Baca binaan.
3. Dalam satu periode waktu, berapa buku yang dipinjam anggota dari perpusatakaan.
4. Berapa jumlah orang yang menjadi peserta (dalam periode waktu tertentu), ikut dalam klub buku,lokakarya menulis esai atau resensi.
5. Berapa sering kegiatan literasi diadakan (diskusi, pembicaraan buku dan kemajuannya dari waktu ke waktu).
6. Rumah Baca seyogiyanya juga aktif mencatat dan mendokumentasikan perkembangan mereka dari waktu ke waktu.
Aspek Kualitatif:
1. Mengamati apakah Rumah Baca binaan seberapa sering mendiskusikan buku atau menulis esai, story telling, dll.
2. Apakah ada peningkatan dalam kesadaran sosial, dan kemajuan berpikir (kritis).
3. Evaluasi gerakan literasi (Rumah Baca), apakah bisa bertahan jangka panjang dengan pendanaan dan partisipasi anggota yang stabil.
4, Lakukan kolaborasi dengan komunitas lokal (jika ada Rumah Baca lain atau Perpustakaan Daerah).
5. Buat profil mengunjung.
6. Buat kategori buku yang paling banyak dipinjam.
7. Diskusikan kendala yang dihadapi dan cari solusinya.
Inilah beberapa catatan saya mengenai pembinaa gerakan literasi. (*)
Ruangan Sasana Budaya Dompet Dhuafa, Jakarta, 25 Februari 2025.
*) Orasi Kunci pada acara Gerakan Literasi untuk Pengelola sekitar 30 Rumah Baca binaan Dompet Dhuafa Jakarta. Menghadirkan Kepala Perpusnas RI, Prof E Aminuddin Azis, MA, Ph.D