![]() |
Rusdin Tompo, saat peluncuran dan diskusi buku "Tuhan Tak Sedang Iseng" di Yayasan BaKTI, Jalan Mappanyukki, Makassar, 22 Juli 2014. (Dok. Tebarnews.com/istimewa) |
Oleh Rusdin Tompo (Penulis dan Pegiat Literasi)
kudengar teriakanmu
mengentak
menyentak
berlarian di antara lembar-lembar koran
berhamburan ke udara frekuensi radio
suara gagah
menggugah
menggugat
di atas panggung teater engkau menyengat
kudengar teriakanmu
nyinyir pada ketidakadilan
sindir penguasa pongah
yang abai pada kemanusiaan
lalai pada keberpihakan
rakyat dibiarkan
terluka
terlunta
teriakan-teriakan kritis
tajam
menghunjam dalam
agar kita tak diam
agar kita selalu awas
agar kita selalu waras
agar kepura-puraan lepas tuntas
tak jadi topeng penghias.
Rumah Duka Asdar Muis RMS, 27 Oktober 2014
Puisi…. Hanya puisi yang bisa saya buat untuk mengenang sosok yang diam-diam saya kagumi sejak lama. Boleh dikata, saya “pengagum rahasia”—meminjam judul lagu Sheila on 7—Asdar Muis RMS. Sayangnya, saya baru beberapa bulan belakangan merasa dekat dengan tokoh kita ini.
Ada beberapa hal yang membuat saya diam-diam jatuh hati pada seniman multitalenta itu. Sepak terjangnya dengan Komunitas Sapi Berbunyi yang dibentuk bersama Basri B. Sila dan Solihin, hanya bisa saya baca melalui pemberitaan media. Saya belum pernah menyaksikan komunitas dengan nama aneh ini manggung, meski terus diliputi penasaran.
Begitupun, saya hanya bisa membaca sekilas isi buku “Sepatu Tuhan” (2003), yang merupakan kumpulan esainya, sekadar hanya berhenti pada ketertarikan, dan tentu saja, mengagumi. Saya gagal mendapatkan buku ini hingga sekarang. Meski sudah mencarinya di toko buku.
Kekaguman saya muncul lagi, ketika rumahnya berikut dirinya muncul di rubrik “Rumah Idaman” Kompas minggu. Sebagai penyuka seni dan keunikan, saya tertarik pada sepeda yang sengaja digantung di salah satu dinding rumahnya, di kawasan Sudiang, Makassar, itu.
Harus diakui, saya bukan pembaca setia kolom dan tulisan-tulisannya. Tapi, salah satu cerpennya yang berjudul “Daster Terong” (Harian Fajar, 30 Maret 2003), sempat saya kutip dalam naskah buku “Anak Jalanan Makassar” yang saya susun (Buku ini kemudian terbit dengan judul “Advokasi Anak Jalanan Makassar”, MediaQita, 2016, pen).
Dalam cerpen itu Asdar Muis RMS menulis:
“Di perempatan jalan, dekat masjid itu, belasan bocah menggelandang tengadah tangan. Bayi masih merah legam teterpa terik matahari, pasrah di punggung bocah yang bergaya kakak. Asap knalpot membungkus tubuh mereka. Di sudut jalan, wanita-wanita baya berharap tangan-tangan mungil anak-anak itu menghasilkan uang.”
Menyikapi tulisan ini, saya mengatakan bahwa mungkin tidak lama lagi potret gelandangan dan pengemis (gepeng) seperti itu akan hilang dari pandangan mata kita. Ini bila rencana pemerintah Kota Makassar mendirikan panti khusus bagi gepeng dapat terwujud dan berjalan efektif. Terlepas dari perdebatan mungkin-tidaknya, atau manusiawi-tidaknya model pendekatan 'karantina' seperti itu, yang jelas telah lama terbetik keinginan pemkot agar Makassar memiliki tempat penampungan khusus bagi gepeng.
Beruntung, saya kemudian bisa mendengar pembacaan tulisan-tulisannya melalui “Kolom Udara” Asdar Muis RMS yang disiarkan oleh Radio SCFM. Kolom yang dalam bentuk teks tidak terasa emosinya itu, menjadi hidup begitu dibaca oleh sang empunya tulisan tersebut.
Meski, kolom-kolom itu dari segi tanggal pembuatannya sudah kedaluwarsa, tapi tetap memikat dan kontekstual. Maksudnya, pesan-pesan moral dari tulisan yang dibuat beberapa tahun lampau itu masih relevan dengan situasi kekinian. Karena faktanya memang masih ada kasus-kasus sejenis. Realitasnya dan fenomena yang digambarkan dalam kolom itu masih terus berlangsung.
Harus diakui program acara “Kolom Udara” ini merupakan sebuah inovasi dan kemudian menjadi trend setter lahirnya program sejenis di radio lain di Makassar. Acara ini bahkan memberi bobot tersendiri dan menjadi ikon radio yang bersiaran pada frekuensi 90,9 FM tersebut.
Pengakuan terhadap terobosan yang dilakukan oleh program acara ini lantas mengantarnya memperoleh KPID Award, yang merupakan ajang apresiasi bagi program dan insan penyiaran yang diadakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan.
Walaupun saya pernah melontarkan sedikit kritik bahwa tidak seharusnya, Asdar Muis RMS berteriak sejadi-jadinya ketika membacakan kolomnya itu. Sebab, dia tidak sedang berada di atas panggung pertunjukkan yang jauh dari penonton, melainkan di depan mikrofon yang peka suara. Namun, saya juga memahami bahwa dengan berteriak, Asdar Muis RMS akan lebih ekspresif dan suaranya lebih menghadirkan suasana dramatik di ruang dengar audiens-nya. Theater of mind terbangun.
***
Akhirnya, saat itu pun datang. Saya berkesempatan bertemu dengannya di kampus Institut Kesenian Makassar (IKM), Jalan Bau Mangga III. Tentu saya senang bukan kepalang. Apalagi, saya berencana menerbitkan buku kumpulan puisi.
Maka, saya dengan agak ragu menyampaikan niat saya meminta kesediaannya memberi komentar pada buku saya itu. Jawabannya, ketika itu, “Biar saya baca dulu na. Berapa hari saya dikasi waktu?”
Singkat cerita, seorang Asdar Muis RMS, yang diam-diam saya kagumi itu, memberi endorsement pada buku kumpulan puisi pertama saya berjudul “Tuhan Tak Sedang Iseng” (Rayhan Intermedia, 2014). Inilah momentum di mana saya mulai merasa dekat dengannya. Karena setelah itu, kami sering berinteraksi.
Saat perayaan ulang tahun perak perkawinannya, saya diundang dan berkesempatan hadir. Saya bahkan diperkenalkan sebagai penyair di hadapan tetamunya, dan dipromosikan bakal menerbitkan buku kumpulan puisi.
Malam itu, saya sempat menyumbangkan suara begitu diundang naik ke atas panggung yang dibuat di depan rumahnya. Kepada Asdar Muis RMS dan istrinya, saya menyanyikan lagu “Kau yang Kusayang” milik grup band The Rollies sebagai kado ulang tahun perkawinan mereka, bukan puisi, sebagaimana diminta. Pasalnya, saya ragu membaca puisi di hadapan dedengkotnya seniman hehehe.
Pada malam itu pula, saya menyempatkan diri melihat-lihat rumah yang semula hanya bisa saya baca kisahnya di Kompas tersebut. Kebetulan, rumah itu sedang menjadi tempat pameran rumahan sejumlah pelukis Makassar.
Sungguh terlalu pendek rasanya mengenal Asdar Muis RMS. Orang yang begitu perhatian, pemberi semangat, dan betapa menghargai pekerja seni dan karyanya.
Ketika buku kumpulan puisi saya direncanakan untuk diluncurkan dan dibedah, Asdar Muis RMS begitu getol menghubungi saya, memastikan tanggal pelaksanaan acaranya. Bahkan pada malam hari pun dia mengontak saya. Menurut pengakuannya, buru-buru dirinya pulang dari Yogyakarta hanya untuk menghadiri acara saya.
Buku kumpulan puisi “Tuhan Tak Sedang Iseng” yang dilengkapi vignette ini diluncurkan dan didiskusikan di Yayasan BaKTI, Jalan Mappanyukki, tanggal 22 Juli 2014, dalam rangka peringatan Hari Anak Nasional (HAN), tahun itu. Sungguh suatu kehormatan buku ini dibahas oleh Alwy Rachman dan Ishak Ngeljaratan, dua budayawan dan kolumnis, yang juga saya kagumi.
Saya yang ‘penyair pemula dan seniman dadakan’ ini merasa tersanjung. Lebih bangga lagi, pada hari itu, saya mendapat hadiah dua buku dari Asdar Muis RMS, yakni “Tuhan Masih Pidato” (2011) dan “Eksekusi Menjelang Subuh” (2012). Saya merasa sangat dipattau oleh Asdar Muis RMS.
Suatu ketika, saya menghadiri acara peluncuran buku “SYL Way II”, karya Dr H Syahrul Yasin Limpo, SH, M.Si, MH, Gubernur Sulawesi Selatan, di Makassar Golden Hotel (MGH), Jalan Pasar Ikan. Saya tadinya betul-betul hadir hanya sebagai peserta, sebagai undangan. Sebagai penyuka buku, dan juga penulis, tentu acara bedah buku menjadi santapan yang tidak boleh terlewatkan.
Biasanya, acara bedah buku menjadi ajang silaturahmi antara sesama penulis atau antara penulis dengan pembacanya. Sekaligus kesempatan bagi kita menyerap kisah-kisah inspiratif dan proses kreatif lahirnya sebuah buku.
Tanpa dinyana, saya malah didaulat oleh Asdar Muis RMS sebagai salah seorang pembedah buku itu. Gelagapan, tentu saja. Karena saya sama sekali tanpa persiapan, dan dituntut mesti secara cepat membaca kritis buku yang akan dibedah itu. Peristiwa ini teramat membekas bagi saya. Beruntung, saya merasa “sukses” sebagai pembedah buku karbitan.
Kini, potongan kisah-kisah penuh sejarah itu tinggal kenangan. Ketika saya mengenang penggalan momen-momen terbaik itu, berarti saya mengenang kebaikan kakanda Asdar Muis RMS. Bicaranya boleh lantang dan berterus-terang. Namun, di balik itu dia memberi penerang dan teladan bagaimana menjadi seniman.
Asdar Muis RMS (1964-2014) adalah contoh seniman dan budayawan yang menyatukan gagasannya dalam tarikan nafas hidupnya hingga akhir hayat. Biarpun secara fisik dirinya telah berpulang dalam kasih sayang Tuhan, tapi pemikiran-pemikirannya tak lekang dari ingatan.
Masih terngiang teriakan-teriakannya, sebagai pengingat agar kita tak dilindas oleh zaman edan. Kita masih bisa melacak kehadirannya lewat buku, lewat komentar-komentarnya di dunia maya, lewat rekaman digital di radio siaran, lewat energi inspirasi yang ditularkannya melalui tulisan-tulisannya, dan komitmennya bagi perkembangan kesenian di Sulawesi Selatan, di Indonesia.(*)
Makassar, 20 November 2014
*Dimuat dalam buku “Obituary Asdar Muis RMS: Menunda Kekalahan dengan Karya, Teman, dan Makan”, editor: Shaifuddin Bahrum dan Andi Ahmad Saransi, Penerbit Baruga Nusantara, 2015